Saya yakin
banyak orang tua yang mempunyai anak umur 7 tahun sedang galau apakah harus dan
boleh menyekolahkan anaknya di pondok pesantren anak atau cukup di SD biasa
saja, atau mungkin nanti saja masuk pondok pesantrennya ketika sudah SMP, atau
berbagai pergolakan batin lainnya tentunya, terutama yang baru pertama kali
ingin menyekolahkan anaknya di Pondok Pesantren anak di usia dini. Nah kali ini,
saya ingin sekedar berbagi tentang dilema yang tentunya pernah sangat menyiksa
batin ini. J
Well, sudah menjadi hal yang lazim bagi banyak
orang tua yang ingin sekali anaknya menjadi seorang yang hebat di agama, dan
biasanya banyak sekali yang ingin anaknya hafal Al-Qur’an dari kecil. Tak
terkecuali bagi kami, pasangan muda yang ingin sekali anaknya hafal Al-Qur’an,
namun tidak punya kapasitas dan kualitas untuk mendidik anak agar bisa menjadi
seorang hafidz. Terlebih, dengan kondisi rumah tangga dan juga lingkungan
sekitar saya, agaknya berat banget tujuan itu tercapai.
Lalu
Solusinya?
Pasti pernah
terlintas di benak masing-masing orang tua yang ingin anaknya hafal 30 juz
untuk menyekolahkan di pondok pesantren anak di usia dini. Namun begitu, hal
itu ga gampang lho.. karena tentu banyak saudara, sahabat, rekan kerja,
tetangga sekitar, bahkan mungkin keluarga besar yang tidak setuju dan
menjelaskan dengan seribu satu alasan agar anak kita tidak di pondok. Ada yang
bilang tega sama anak lah, kasihan anaknya masih kecil lah, masih butuh kasih
sayang orang tua, dan berbagai pernyataan yang sangat tidak mendukung dan
menyesakkan dada. Setidaknya itulah yang saya alami waktu awal ingin
menyekolahkan anak ke pondok di usia dini 2 tahun yang lalu (Pengen nangis deh
kalau inget masa-masa itu).
Dan tentunya,
berbagai hal itu tentunya akan sangat melemahkan niat kita, dan ujung-ujungnya
kita jadi minder dan tidak jadi menyekolahkan anak ke Pondok Pesantren.
Namun alhamdulillah, dengan tekad yang kuat dan
strategi yang menurut saya cukup jitu, akhirnya justru anak saya sendiri lah
yang ngotot dan ngebet ingin melanjutkan sekolah SD di pondok pesantren. Kok
bisa? Bagaimana caranya?
Dari mulai anak
umur 3 tahun, saya selalu ngeblow anak dengan berbagai cerita tentang pondok
pesantren. Tiap hari pokoknya yang diceritakan adalah tentang pondok pesantren.
Trus, saya juga ajakin anak untuk silaturahmi ke teman yang anaknya ada di
pondok pesantren anak, saya ajak juga dia keliling lihat-lihat pondok pesantren
anak, kemudian memperkenalkan anak dengan tontonan-tontonan hafidz, seperti
misalnya tayangan Hafidz Indonesia di RCTI yang tayang tiap bulan puasa,
kemudian ngedownload-in dia tayangan-tayangan youtube tentang anak-anak kecil
yang sudah hafal Qur’an dan di pondok anak, dan tentunya juga rajin ngajakin
dia ke masjid dan nyariin lingkungan bermain yang islami yang akhirnya kami
titipkan anak ke salah satu PAUD-TK yang berbasis Islam untuk lebih
menyemangati dia.
Pokoknya bismillah,
dan akhirnya anak sendiri yang memutuskan untuk melanjutkan di Pondok Pesantren
Tahfidz Anak-Anak. Dan ketika mengantarkan anak masuk pondok pesantren anak
untuk pertama kalinya, dia pun sangat senang dan happy ketika ditinggal, dan
itu semakin menguatkan hati kami, orang tuanya, untuk bisa melepas anak yang
masih berusia 7 tahun itu.
Fase Awal
Kegalauan Dimulai
Ternyata,
godaan terbesar kami sebagai orang tua bukanlah ketika memutuskan untuk
memasukkan anak ke pondok pesantren, namun justru di 6 bulan pertama itu
sendirilah permasalahan terbesar bagi kami, sebagai ayah dan ibunya.
Dua bulan
pertama anak dijenguk (sebulan dijenguk sekali), anak selalu nangis dan tidak
mau ditinggal ketika kami pamit pulang. Sebenarnya anak saya lumayan tangguh
dan bisa berpisah. Namun karena ternyata ada beberapa anak yang orangtuanya
belum mempersiapkan anak-anak mereka dari awal, akhirnya ada beberapa anak yang
di bulan-bulan pertama selalu nangis dan ingin balik sama orang tua, terutama
di waktu-waktu menjelang tidur atau setelah bangun tidur yang biasanya masih
dijagain orang tua atau harus dengan orang tua ketika di rumah, dan itu pulalah
yang akhirnya membuat anak saya ikut-ikutan melow dan akhirnya drama pun
terjadi, terlebih ibunya juga ga kuat berpisah sama anak.
Akhirnya saya
ambil inisiatif beberapa bulan setelahnya ibunya ga usah ikut menjenguk sampai
ia kuat berpisah sama anaknya, dan anaknya juga kuat pisah sama ibunya. Kejem
banget kayaknya ya, namun disitulah peran seorang ayah dituntut untuk
menyelesaikan masalah dan mengesampingkan hati.
Tidak cukup
sampai situ, kegalauan semakin bertambah karena kok sampai 4 bulan kami melihat
perkembangannya di pondok pesantren, kami merasa anak kami tidak ada
perkembangan yang signifikan seperti yang kami harapkan, dan dia masih belum
dapat hafalan satupun, karena anak saya ketika masuk pondok baru bisa baca Iqro
jilid 3, dan di pondok dia harus mengulangi belajar ngaji dengan metode Yanbu’a
Kudus dimulai jilid 1. Ditambah lagi, anak juga jadi agak kurus karena mungkin
belum terbiasa dengan pola makan di pondok yang menunya mungkin tidak selalu
disukai. Lemari juga berantakan walaupun sebenarnya pakaian
sudah dilaundry sama pihak ke-3 yang bekerja sama dengan pihak pondok, dan
mandi juga kadang belum bersih.. Eh udah gitu, ada beberapa wali santri yang ga
kuat dan akhirnya memindahkan anak mereka di sekolah umum dan bikin kami sebagai
orang tua tambah ga karuan. Wah pokoknya galau habis di fase 4 bulan pertama
ini.
Dialah
Penyejuk Pandangan Kami
Awal bulan
kelima, itulah titik balik dari semua ini. Saya sangat kaget ketika menjenguk
anak (Ibunya masih belum ikut) dan dia meminta dibelikan mushaf karena sekarang
ia sudah menghafal dan sudah hampir menyelesaikan juz ‘amma. Akhirnya kami
pergi ke toko buku dan mencari mushaf pojok untuk hafalan, dan saya yang saat
itu masih belum terlalu percaya dengan progress yang sangat luar biasa ini
meminta ia beberapa kali untuk membaca Al-Qur’an terlebih dahulu. Dan
MasyaAllah, ternyata ia membaca Qur’an dengan lancar dan tajwidnya juga luar
biasa.
Setelah membelikan
beberapa perbekalan bulanan rutin seperti alat mandi, jajanan, alat tulis, dan
berbagai perlengkapan yang ia butuhkan (sebenarnya di pondok kalau anak
butuh-butuh sesuatu tinggal minta sama ustadz dan ustadzahnya dan dicukupi
semua kebutuhan, namun anak saya masih pemalu jadi lebih baik nunggu dijenguk
dan minta kebutuhan dan keperluan ketika orangtuanya menjenguk), sebelum pamit
ia berpesan kalau besok lagi jenguknya sama ibu, insyaAllah sudah ga nangis
lagi kalau dijenguk. Dan itulah momentum titik balik anak saya di pondok, yang
tentunya sangat menggembirakan buat kami, orang tuanya.
Akhirussanah di Tahun Pertama
Di tahun
pertama akhirussanah ini, sungguh kami sebagai orang tua sangat bergembira.
Hati kami bergetar mendengar berbagai pertunjukan dan penampilan dari hafalan
anak-anak, terlebih ketika nama anak disebut satu persatu dan kemudian ia
maju, disambung dengan ustadz dan ustadzahnya memperkenalkan satu persatu nama
anak dan orangtuanya, juga pencapaiannya di satu tahun tersebut, dan
alhmdulillah anak saya saat itu sudah hafal juz 30 dan 3 juz pertama di Al-Qur’an.
Kami sangat terharu dan bangga dengan pencapaiannya di tahun pertama ini. Dan
kami pun menangis haru, membayangkan kelak mungkin ialah yang akan menjadi
penyelamat kami di yaumul hisab, ialah yang akan memakaikan jubah kemuliaan
kepada kami, menyelamatkan kami dari pedihnya api neraka, dan ialah yang akan
membanggakan kami dihadapan Rabbnya.
Tahun Kedua Nyantri di Pondok
Pesantren Anak.
Alhamdullillah,
di tahun kedua nyantri di pondok tahfidz anak-anak, tidak ada kendala yang
berarti. Tidak ada lagi kegalauan dan drama, dan anak juga sudah tumbuh mandiri
dan lebih dewasa.
فاذا عزمت فتوکل
علی الله
…
Dan alhamdulillah, menjelang Romadhon 1440 H kemarin, anak kami sudah menghafal sampai Juz 9. Mudah-mudahan ia selalu diberi keistiqomahan dan kekuatan untuk bisa terus menghafal sampai Mutqin 30 Juz.
Tips Mempersiapkan Anak ke
Pondok Tahfidz Anak
Buat para orang
tua yang ingin menyekolahkan anaknya di pondok pesantren khusus anak baik itu
pondok tahfidzul Qur’an ataupun pondok pesantren umum lainnya, ada beberapa hal
yang harus dipersiapkan baik sebelum anak berangkat ke pondok maupun ketika ia
sudah berada di pondok.
- 1. Kenalkan anak dengan pondok pesantren sedini mungkin, ceritakan terus
tentang pondok pesantren minimal 2-3 tahun sebelum ia masuk usia pondok di usia
7 tahun, agar ia menjadi suka dan tidak terpaksa belajar di pondok pesantren.
- 2.
Jaga pengetahuan anak dengan membatasi nonton
televisi atau video-video Youtube, dan hanya menonton program-program yang bisa
meningkatkan ghiroh atau semangat anak untuk ke pondok pesantren, misal dengan
nonton tayangan hafidz Indonesia di televisi, langganan channel-channel youtube
di jebolan santri-santri tahfidz Indonesia, channel-channel pesantren, dan
lagu-lagu islami yang mempunyai video berlatar pondok pesantren. Hal ini
dilakukan untuk menstimulasi anak agar memang itulah dunia yang akan ia lalui
nantinya, sehingga ia tidak akan memilih opsi lain selain di pondok pesantren
dan akan menjalaninya dengan sukacita.
- 3.
Jangan pernah memaksakan anak kehendak kita,
walaupun itu untuk tujuan kebaikan. So, carilah cara yang tepat dan jitu agar
anak mau menuruti tanpa terpaksa. Dan untuk pengalaman kami, ibunya lah yang
biasanya punya beribu macam cara dan strategi jitu agar anak mau sejalan dengan
orang tua tanpa paksaan.
- 4.
Silaturahmi ke Pondok Pesantren yang dituju,
dan beberapa teman yang anak-anaknya menyekolahkan di pondok pesantren.
- 5.
Persiapkan ekonomi yang lebih. Mau tidak mau,
kebutuhan anak di pondok pesantren
berbeda dengan kebutuhan anak biasa pada umumnya, terlebih karena mereka masih
kecil dan belum bisa terlalu menjaga diri. Sudah hal biasa kalau pakaiannya,
sepatu, sandal, dan berbagai perlengkapan lainnya kadang ada yang rusak ataupun
hilang. Yang paling sering buat kami sandal sama pakaian (hampir tiap bulan
beli J). Untuk yang rumahnya jauh (luar kota)
tentunya juga ada cost lebih untuk akomodasi ketika berkunjung, kadang
juga liburan sekalian menginap di tempat wisata sekitar untuk menjaga agar
ikatan antara anak-orang tua tetap kuat, dan juga sekedar membawa oleh-oleh
untuk anak dan teman-teman sekamarnya ataupun untuk para ustadz-ustadzahnya.
- 6.
Berprasangka positif terhadap Allah, terhadap
para pengajar di pondok pesantren, dan terhadap semuanya. Hanya itulah yang
bisa menenangkan batin kita karena tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali
hanya berpasrah diri dan menyerahkan semua penjagaan kepada Allah.
- 7. Mendoakan Anak kita selalu di waktu-waktu mustajab.
Terakhir, anak
saya sangat suka mendengar dan menonton video lagu ini, sebagai sumber
inspirasi dia masuk ke pondok. Terlebih adiknya yang sekarang sudah di TK Besar
dan tidak sabar untuk menyusul kakaknya ke pondok pesantren tahfidz anak.
“Jadilah apapun engkau wahai anakku,
dan tetap letakkan pondasi iman jauh di lubuk hatimu”
0 comments:
Post a Comment